Selasa, 21 Oktober 2014

Perempuan Yang Memotong Lelakinya Lelaki itu

Ia kutemukan dipingir jalan tak sadarkan diri, tergolek lemah dengan napas setengah-setengah.  Hampir  mati dengan pakaian terkoyak, membuat badannya yang berdarah sedikit telanjang.
         “Duduk didekatku, jangan kau malu atau ragu.  Apalagi takut.  Aku bukan mereka yang telah khianatimu dengan berani lalu pergi, tinggalkan noda yang hitamkan langkah dan gelapkan tatapmu akan hari depan tanpa permisi,”
Kujaga dan kurawat ia dirumah ibu, membasuh lukanya hingga hilang pedih perih.  Ia ceritakan padaku tentang lelakinya yang perlakukan ia seperti binatang, diperkosa dikamar remang bersama teman lelaki-lelakinya hingga pingsan. 
          “aku anak seorang perempuan yang biasa kupanggil ibu, tapi lebih sering kupanggil bunda karena sayang.  Jadi jangan kau malu atau ragu apalagi takut, karena aku bisa rasakan dukamu.  Aku membawamu ketempatku untuk bertemu ibu.  Dengarkan lembut tuturnya agar hatimu tak lagi rasakan duka.  Lalu kita akan nikmati secangkir kerinduan dan sepiring sayangnya sampai kau tertidur.  Doanya akan bawa hujan yang akan segarkanmu, bawa pulang airmata yang terlanjur kau teteskan.  Menghapus semua duka hingga hilang tak berbekas,”

Ia masih malu, tatapnya ragu menatapku.  Tapi ibu membuatnya berani, dibelai lembut rambutnya yang hitam panjang seperti membelai rambut anaknya.  Restunya terucap dengan cinta yang tulus. Iapun kembali ungkapkan rasa dalam jiwanya, tentang perasaan cintanya yang terlalu pada lelakinya. 
          “aku tak tahu kalau cinta bisa membuatmu begitu, membuatmu lemah lalu ingin mati tanpa ragu, padahal cinta telah campakkanmu dengan brani, dan membuatmu hina.”
Lalu kau menangis.  Bening menetes jatuh bak embun pagi, bawa kisah luka hati.  Mendung dipelupuk mata, lalu tumpah dengan isak.  Segenap jiwa turut, hanyut, deras mengalir seperti pancuran dibelakang rumah, hening, sunyi.  Hingga tak kaurasa, sepi.
“Biarkan saja, mungkin itu jalannya.  Airmata tercipta untuk mengurangi beban hati, biarkan saja.  Lalu duduklah didekatku, agar kau dengar saat kubisikkan cinta padamu.”
Tapi kau hanya diam dan berlalu, sedang cintaku tulus.  Mungkin kau masih menyimpan dendam, pada lelaki seperti aku, tapi aku bukan mereka yang telah campakkanmu dengan brani lalu pergi tanpa ragu.

Kini kau menghilang, tinggalkan setumpuk kerinduan dan kesunyian.  Bersama bau tubuhmu yang penuhi setiap sudut ruang.  Tanpa permisi. 

Hingga satu sore kudengar cerita dari teman diujung gang, kau telah kembali pada lelakimu yang dulu telah campakkanmu.  Akupun tak mengerti, sedahsyat itukah cintamu hingga tak merasa terhinakan, dilecehkan diperkosa dibuang sampai kau hampir mati.  Aku tak percaya cinta bisa seperti itu.   

Kuingat kau kembali
                 Sehari ini
Saat bunga-bunga hujan jatuh

Kuingat kau kembali
                Sehari ini
Saat mimpi-mimpi sepi

Kuingat kau kembali
                Sehari ini
Dan kuingin kau lagi
Sehari saja
Saat bunga hujan jatuh agar mimpi tak lagi sepi


Aku dan ibu terkejut, saat kudengar kau masuk penjara karena telah memotong lelakinya lelakimu.  Ia yang telah campakkanmu dengan brani, tinggalkan noda yang hinakanmu lalu pergi tanpa ragu.    

Tidak ada komentar: